Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, lahir sekitar 1450 M, namun ada juga yang mengatakan bahwa beliau lahir pada sekitar 1448 M. Sunan Gunung Jati adalah salah satu dari kelompok ulama besar di Jawa bernama walisongo.Menurut Barros, salah seorang ahli sejarah Portugis Sunan Gunung Jati itu namanya adalah : "Falatehan". Akan tetapi menurut Fernando Mendes Pinto, seorang pengembara Portugis yang pernah datang ke tanah Jawa, menceritakan bahwa pada tahun 1546 Raja Sunda namanya Taragil. Mengenai Taragil in, Prof. Dr. A Hoesin Djajadiningrat berpendapat bahwa kemungkinan Taragil itu salah ucapan dari kata Fakhril, kemudian mengenai nama Sunan Gunung Jati, menurut dugaan Prof. Hoesin, yang dimaksudkan dengan Faletehan, kemungkinan berasal dari bahasa arab Fatkhan, dari kata Fath. Hal ini mengingat bahwa dalam tahun 1919 ada seorang naib dari kawedanan Singen Lor, di semarang yang bernama Haji Mohammad Fathkan. Menurut penyelidikan Dr. B.J.O. Schrieke, salah seorang orientalis Barat yang terkenal, mengatakan bahwa nama Falatehan itu mungkin berasal dari perkataan Arab : Fatahillah.
Adapun yang mengidentifisir nama Faletehan dengan Sunan Gunung Jati dengan Taragil, adalah Prof. Dr. A Hoesin Djajadiningrat.Sunan Gunung Jati bernama Syarif Hidayatullah, lahir sekitar tahun 1450. Ayah beliau adalah Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar.
Jamaluddin Akbar adalah seorang Muballigh dan Musafir besar dari Gujarat, India yang sangat dikenal sebagai Syekh Maulana Akbar bagi kaum Sufi di tanah air. Syekh Maulana Akbar adalah putra Ahmad Jalal Syah putra Abdullah Khan putra Abdul Malik putra Alwi putra Syekh Muhammad Shahib Mirbath, ulama besar di Hadramaut, Yaman yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah melalui cucu beliau Imam Husain.
Ibunda Sunan Gunung Jati adalah Nyai Rara Santang (Syarifah Muda'im) yaitu putri dari Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dan Nyai Subang Larang, dan merupakan adik dari Kian Santang atau Pangeran Walangsungsang yang bergelar Cakrabuwana / Cakrabumi atau Mbah Kuwu Cirebon Girang yang berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, seorang Muballigh asal Baghdad bernama asli Idhafi Mahdi bin Ahmad.
Makam Nyai Rara Santang bisa kita temui di dalam komplek KLENTENG di Pasar Bogor, di sebelah Kebun Raya Bogor.
Perjalanan Sunan Gunung Jati
Faletehan ketika masih kecil belajar agama pada orang tuanya di Pasaii. Pada suatu ketika tatkala Feletehan telah menginjak dewasa daerah Pasai tempat kelahirannya diduduki oleh bangsa Portugis yang datang dari Malaka.
Malaka dapat direbut oleh bangsa Portugis pada tahun 1511 M. Pendudukan Portugis atas daerah Pasai (Aceh) ini menimbulkan dendam kesumat terhadap pemuda Faletehan. Perasaan benci kepada penjajah pun mulai berkobar pula dalam dadanya. Pada akhirnya beliau menyingkir dari tanah tumpah darahnya, dan pergi ke Tanah Suci (Mekkah).
Di tanah suci Faletehan menuntut ilmu serta memperdalam pengetahuannya tentang Islam. Sesudah beliau pergi merantau ke tanah Arab selama kurang lebih 3 tahun dikiranya orang-orang Portugis sudah pergi meninggalkan bumi Tanah Pasei, tetapi kenyataannya tidaklah demikian, mereka ternyata masih berada disana dan menambah kepedihan dan kemarahan hatinya.
Faletehan bertekad untuk meninggalkan tanah airnya kembali dan bertolak ke tanah Jawa, sudah barang tentu kedatan Faletehan ini disambut baik oleh kerajaan Islam di Demak yang pada masa itu berada di bawah pemerintahan Raden Trennggono, yang memerintah dari tahun 1521-1546 M.
Pada jaman Trenggono inilah kerajaan demak mengalami masa keemasannya. Daerah kekuasannya semakin luas, disamping itu juga telah memiliki armada yang kuat, sehingga pada jaman Pati Unus (1518-1521) pernah menyerang portugis di Malaka, meskipun tidak berhasil. Pada masa Trenggono pula, berkat usaha dan jasa Faletehan beberapa daerah di Jawa Barat di-Islam-kan serta berada di bawah kekuasaan kerajaan Demak. Oleh kerena itu kedatangan Faletehan ini merupakan suatu sumbangan yang besar sekali artinya bagi penyiaran dan penyebaran Islam selanjutnya.
Unntuk memikat hati pemuda Faletehan supaya merasa senang dan tetap tinggal di Jawa, maka Faletehan dinikahkan dengan adik dari Raden Trenggono. Dengan demikian bertambah eratlah hubungan persahabatan biasa menjadi kekeluargaan, pada masa itu jawa barat masih merupakan daerah kekuasaan orang Hindu, Banten dan Sunda Kelapa-pun masuk dalam jajahan kerajaan Pejajaran. Maka dengan seizin Raden Trenggono akhirnya dikirimlah suatu ekspedisi menuju Banten, dibawah pimpinan Faletehan untuk menyiarkan agama Islam di sana.
Lama kelamaan Banten dapat dikuasai oleh Faletehan, demikian juga Sunda Kelapa. Ketika orang-orang portugis datang di Sunda Kelapa, diusir oleh Faletehan begitu pula dibunuhnya anak kapal yang terdampar dekat pelabuhan Sunda Kelapa (1526) dan kemudian Fransisco De Sa pun dipukul mundul oleh Faletehan dengan mendapat kerugian sehingga kembali ke Malaka (1527) Setahun kemudian Cireboh jatuh pula ke tangan Faletehan (1528) sehingga Banten, Sunda Kelapa dan Cirebon akhirnya berada di bawah kekuasanaan Faletehan, dengan demikian Sunan Gunung Jati telah merintis jalan perhubungan di pantai utara dari Jawa Barat yang menyebabkan sepanjang pesisir utara sejak dari banten Sunda Kelapa, dan Cirebon. Demak, Jepara, Kudus, Tuban dan Gresik berada di tangan orang Islam.
Sunan Gunungjati wafat pada tahun 1568, dalam usia 120 tahun. Bersama ibunya, dan pangeran Carkrabuasa beliau dimakamkan di gunung Sembung. Dua tahun kemudian wafat pula Kyai Bagus Pasai, Fatahillah dimakamkan ditempat yang sama, makam kedua tokoh itu berdampingan, tanpa diperantarai apapun juga. Demikianlah riwayat perjuangan Sunan Gunungjati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar